Tersebutlah seorang penganut tasawuf
bernama Nidzam al-Mahmudi. Ia tinggal di sebuah kampung terpencil, dalam
sebuah gubuk kecil. Istri dan anak-anaknya hidup dengan amat sederhana.
Akan tetapi, semua anaknya berpikiran cerdas dan berpendidikan. Selain
penduduk kampung itu, tidak ada yang tahu bahwa ia mempunyai kebun subur
berhektar-hektar dan perniagaan yang kian berkembang di beberapa kota
besar. Dengan kekayaan yang diputar secara mahir itu ia dapat menghidupi
ratusan keluarga yg bergantung padanya. Tingkat kemakmuran para kuli
dan pegawainya bahkan jauh lebih tinggi ketimbang sang majikan. Namun,
Nidzam al-Mahmudi merasa amat bahagia dan damai menikmati perjalanan
usianya.
Friday, September 23, 2011
SANG SUFI
Salah seorang anaknya pernah bertanya,
“Mengapa Ayah tidak membangun rumah yang besar dan indah? Bukankah Ayah
mampu?” Lalu jawab sang sufi yang tidak terkenal itu,”Ada beberapa sebab
mengapa Ayah lebih suka menempati sebuah gubuk kecil. Pertama, karena
betapa pun besarnya rumah kita, yang kita butuhkan ternyata hanya tempat
untuk duduk dan berbaring. Rumah besar sering menjadi penjara bagi
penghuninya. Sehari-harian ia Cuma mengurung diri sambil menikmati
keindahan istananya. Ia terlepas dari masyarakatnya. Dan ia terlepas
dari alam bebas yang indah ini. Akibatnya ia akan kurang bersyukur
kepada Allah.”
Anaknya yang sudah cukup dewasa itu
membenarkan ucapan ayahnya dalam hati. Apalagi ketika sang Ayah
melanjutkan argumentasinya, “Kedua, dengan menempati sebuah gubuk kecil,
kalian akan menjadi cepat dewasa. Kalian ingin segera memisahkan diri
dari orang tua supaya dapat menghuni rumah yang lebih selesa. Ketiga,
kami dulu cuma berdua, Ayah dan Ibu. Kelak akan menjadi berdua lagi
setelah anak-anak semuanya berumah tangga. Apalagi Ayah dan Ibu
menempati rumah yang besar, bukankah kelengangan suasana akan lebih
terasa dan menyiksa?”
Si anak tercenung. Alangkah bijaknya
sikap sang ayah yang tampak lugu dan polos itu. Ia seorang hartawan yang
kekayaannya melimpah. Akan tetapi, keringatnya setiap hari selalu
bercucuran. Ia ikut mencangkul dan menuai hasil tanaman. Ia betul-betul
menikmati kekayaannya dengan cara yang paling mendasar. Ia tidak
melayang-layang dalam buaian harta benda sehingga sebenarnya bukan
merasakan kekayaan, melainkan kepayahan semata-mata. Sebab banyak
hartawan lain yang hanya bisa menghitung-hitung kekayaannya dalam bentuk
angka-angka. Mereka hanya menikmati lembaran-lembaran kertas yang
disangkanya kekayaan yang tiada tara. Padahal hakikatnya ia tidak
menikmati apa-apa kecuali angan-angan kosongnya sendiri.
Kemudian anak itu lebih terkesima
tatkala ayahnya meneruskan, “Anakku, jika aku membangun sebuah istana
anggun, biayanya terlalu besar. Dan biaya sebesar itu kalau kubangunkan
gubuk-gubuk kecil yang memadai untuk tempat tinggal, berapa banyak
tunawisma atau gelandangan bisa terangkat martabatnya menjadi warga
terhormat? Ingatlah anakku, dunia ini disediakan Tuhan untuk segenap
mahkluknya. Dan dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua
penghuninya. Akan tetapi, dunia ini akan menjadi sempit dan terlalu
sedikit, bahkan tidak cukup, untuk memuaskan hanya keserakahan seorang
manusia saja.”
0 comments:
Post a Comment