Oleh H. Akbar
Di antara bentuk kelalaian yang paling fatal adalah merasa tidak
punya dosa. Yang kerap terbayang selalu pada kebaikan yang pernah
dilakukan. Dari sinilah seseorang bisa terjebak pada memudah-mudahkan
kesalahan. Bahkan, bisa menjurus pada kesombongan. “Sayalah orang yang
paling baik. Pasti masuk surga!”
Dua firman Allah swt. menyiratkan orang-orang yang lalai seperti itu.
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِاْلاَخْسَرِيْنَ اَعْمَالاً . اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَ هُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا
“Katakanlah, ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang
yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu, orang-orang yang telah sia-sia
perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa
mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104)
Bentuk lain dari sikap ini, adanya keengganan mencari fadhilah atau
nilai tambah sebuah ibadah. Semua yang dilakukan cuma yang wajib.
Keinginan menunaikan yang sunnah menjadi tidak begitu menarik. Ibadahnya
begitu kering.
Padahal, Rasulullah saw. tak pernah lepas dari ibadah sunnah. Kaki
Rasulullah saw. pernah bengkak karena lamanya berdiri dalam salat.
Isteri beliau, Aisyah r.a., mengatakan, “Kenapa Anda lakukan itu, ya
Rasulullah? Padahal, Allah sudah mengampuni dosa-dosa Anda?” Rasulullah
saw. menjawab, “Apa tidak boleh aku menjadi hamba yang senantiasa
bersyukur?”
Beliau saw. pun mengucapkan istighfar tak kurang dari tujuh puluh kali
tiap hari. Setiapkali ada kesempatan, beliau saw. selalu memohon maaf
kepada orang-orang yang sering berinteraksi dengan beliau. Beliau saw.
khawatir kalau ada kesalahan yang tak disengaja. Kesalahan yang terasa
ringan buat diri, tapi berat buat orang lain.
0 comments:
Post a Comment